Jumat, 19 Februari 2016

PANDUAN JUAL BELI ONLINE DALAM ISLAM


PANDUAN JUAL BELI ONLINE  DALAM ISLAM
Jual beli merupakan kegiatan umat manusia yang berkembang dari masa ke masa. Masalah-masalah fiqih yang muncul dalam jual beli juga terus berkembang seiring dengan perkembangan cara jual beli.


Jika di zaman Rasulullah SAW jual beli dilakukan secara barter atau menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai alat tukarnya, maka pada saat ini barter justru dipertanyakan hukumnya oleh sebagian orang, karena jual beli pada saat ini dilakukan menggunakan alat pembayaran seperti uang kertas, cek, bilyet, giro, kartu debit, kartu kredit dan uang elektronik. Ketika anda bertanya kepada ulama mengenai hal-hal baru dalam bisnis, seringkali akan ada perbedaan pendapat, tetapi lama kelamaan mereka bisa mencapai kedekatan pendapat bahkan kesepahaman atau kesamaan pendapat, seperti hukum halal penggunaan uang kertas pada saat ini.
Inovasi dalam jual beli dibenarkan dalam Islam, termasuk jual beli secara online karena kaidah yang berlaku dalam fiqh bisnis adalah “Pada dasarnya mu’amalat (bisnis) itu mubah kecuali ada dalil yang melarangnya”. Tetapi jual beli dengan berbagai inovasinya akan sah jika memenuhi syarat dan rukun. Syarat dan rukun adalah hal-hal yang harus ada dalam setiap ibadah atau muamalat, jika salah satu syarat atau rukun ada yang tidak terpenuhi, maka ibadah atau muamalah tersebut menjadi tidak sah. Adapun syarat dan rukun jual beli adalah :

1.  Aqidaan  : Dua pihak yang berakad

Dalam jual beli, harus ada dua pihak atau lebih yang berakad, para pihak yang berakad disyaratkan harus sudah akil baligh, tidak dipaksa, tidak dalam status mahjur ‘alaih (pihak yang dilarang oleh pengadilan untuk melakukan tindakan apapun terkait harta kekayaannya) dan menurut Imam Nawawi pihak yang berakad harus bisa melihat, dan harus beragama Islam jika yang dijual belikan adalah mushaf Al-qur’an atau  hamba sahaya muslim (Abu Zakaria An-Nawawi, Al-majmuu Syarhul Muhadzab, , Jilid  IX, hal 149, Darul fikr).

Dengan demikian setiap transaksi dalam jual beli online harus diketahui dengan jelas siapakah pihak-pihak yang melakukan transaksi. Jika penjual tidak jelas, maka jual beli online bisa dikatakan cacat hukum. Website yang berperan sebagai penjual harus jelas siapa penanggung jawabnya, dimana kantornya dan apakah sudah ada ijinnya atau belum. Jika Anda menemukan website yang tidak jelas siapa penanggung jawabnya, maka berarti rukun jual belinya tidak terpenuhi dan jual belinya menjadi tidak sah. Banyak orang yang tertipu dalam jual beli online, karena setelah melakukan pembayaran barang yang dibeli tidak dikirim, ketika diusut siapa penjualnya ternyata tidak ada di Indonesia dan tidak diketahui secara pasti siapa orangnya.


2.   Ma’qud ‘alaih   ( Obyek atau benda yang dijual belikan )

Objek jual beli harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu suci, halal dimanfaatkan secara syar’i, dimiliki oleh orang yang berakad, dapat dilakukan serah terima, jelas dan barang yang hendak di jual harus benar-benar sudah diterima oleh penjual sebelum dia menjual  kepada pihak lain.

Diantara dalil yang menjelaskan hal ini adalah sabda nabi dalam Sahih Bukhari No 2082 disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi dan patung” HR Bukhori.

Jika ada bisnis, baik yang bersifat online maupun offline, MLM atau bukan dan anda tidak mengetahui secara jelas apa yang menjadi objek jual belinya, atau ada objek jual beli namun tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka jelas jual beli atau bisnis yang demikian adalah haram hukumnya.
Banyak orang tergiur dengan money game, yang menjanjikan kepada member yang bergabung akan mendapatkan kentungan tertentu tanpa harus menjual apapun, maka transaksi yang demikian adalah transaksi yang patut dipertanyakan karena tidak terpenuhi rukun jual belinya. Begitu pula jika produk yang dijual belikan adalah produk yang haram, maka transaksi jual beli
tersebut juga haram.


3. 
Sighat akad atau yang disebut dengan Ijab - Qabul

Pada awalnya di jaman dahulu ijab qabul memang harus dilakukan secara lisan, akan tetapi para ulama membolehkan ijab qabul dengan tulisan, bahkan dengan isyarat apabila jual belinya merupakan transaksi yang kecil dan sudah menjadi kebiasaan yang dimaklumi oleh masyarakat, seperti jual beli di supermarket yang dilakukan tanpa ada ijab qabul secara lisan, dan juga jual beli minuman yang menggunakan vending machine, dimana pembeli cukup memasukkan sejumlah uang sesuai yang ditentukan, maka mesin akan mengeluarkan minuman tertentu yang dikehendaki oleh pembeli. Secara umum syarat-syarat  yang harus dipenuhi dalam ijab qabul adalah (Fiqhus sunnah, III, 127-139) :


>  Bersambung,
antara ijab qabul, tidak boleh dipisahkan dengan pembicaraan-pembicaraan yang lain jika ijab qabulnya secara lisan.
>  Sinkron,  antara  ijab dan qabul harus cocok dan sesuai. Jika Ijab dengan qabul tidak relevan maka jual belinya tidak sah, misalnya pembeli berkata ”saya jual laptop ini kepada Anda dengan harga Rp 5.000.000,- dan pembeli menjawab ”Oke saya beli dengan harga Rp 4.000.000,-”. Ini berarti antara ijab dan qabul tidak sinkron, maka jual belinya tidak sah.

>   Menggunakan bentuk past tense
, contohnya tidak boleh menggunakan Saya akan jual rumah ini kepada anda, tetapi harus menggunakan “Saya jual rumah ini kepada anda. Jika menggunakan bentuk “future” maka itu namanya baru penawaran, belum sampai akad.


Dari penjelasan di atas maka dapat saya sampaikan bahwa pada dasarnya jual beli online adalah masalah modern yang belum ada di Zaman Rasulullah SAW, namun hukumnya diperbolehkan menurut syariat Islam jika memenuhi syarat dan rukun jual beli. Wallahu a’lam bish shawab. (Sofwan Jauhari) 
sumber : www.k-link.co.id